Beranda > Uncategorized > Seni Kolosal Sepakbola

Seni Kolosal Sepakbola


“Seni adalah formasi harmonis dari elemen-elemen yang berhasil menawarkan sensasi-sensasi yang menyenangkan” (Herbert Read)

Seni bagi seorang pemain sepakbola bisa berarti curahan dan ekspresi jiwa raganya untuk menciptakan sebuah harmonisasi yang indah di lapangan hijau.     Walaupun pendapat Read lebih condong pada makna seni rupa atau puisi, tetapi amat relevan bila dikaitkan dengan seni secara umum, termasuk sepakbola. Sehingga seni dalam  konteks ini bisa dimaknai sebagai gambaran dari masing-masing unsur (baca: pemain, ofisial, pelatih) dalam sebuah tim sepakbola untuk menciptakan permainan yang indah dan menyenangkan.

Oleh karena itu, untuk menciptakan seni sepakbola sebagai sensasi yang indah, maka hendaknya setiap pemain memberikan peranan yang menunjang tercapainya maksud tersebut. Striker mengejawantahkan segala kemampuannya untuk menggedor pertahanan lawan, sehingga tercipta sebuah gol dengan sempurna. Sebaliknya back kiri/kanan bertugas menciptakan seni bertahan dari gempuran lawan. Adapun penjaga gawang (keeper) berusaha menghadirkan seninya dengan menghadang segala bentuk serangan  yang akan mengoyak gawangnya, dan seterusnya.

Sebagaimana sebuah karya lukis, seni musik, seni tari, dan seni lainnya, maka sepakbola dibangun oleh sedikitnya enam hal pokok yang mendukung esensi sebuah seni yaitu: irama, gerak, dinamika, komposisi, warna, dan puisi. Pertama, sepakbola mempunyai irama (ritme) permainan yang berbeda pada masing-masing tim. Irama permainan sepakbola dibangun melalui kerjasama dari masing-masing pemain untuk menghasilkan gempuran yang cepat ke pihak lawan, mendikte dengan memperlambat tempo permainan, dan pada saat tertentu  melakukan counter attack yang akan melumpuhkan permainan lawan.

Pengaturan irama permainan merupakan notasi naik turunnya serangan kepihak lawan sepanjang permainan. Pengaturan irama ini tidak mungkin menghasilkan keindahan tanpa desain yang cerdas dari seorang dirigen sepakbola di lapangan.

Kedua, jelas sekali bahwa seluruh aktifitas sepakbola  merupakan akumulasi dari berbagai aspek gerak. Kaki, tangan, kepala, dada, dan seluruh bagian tubuh. Gerak yang akumulatif dari sebuah tim dapat dilihat melalui operan bola dari kaki ke kaki, diselingi gerakan tanpa bola yang mampu mengecoh lawan, diiringi dribbling, sliding, heading, swerving, dan passing-passing panjang yang memukau, serta berbagai gerakan individul lainya. Ketiga, kekompakan tim dalam mengatur serangan, bertahan, mengawal, menjegal, serta merebut bola memberikan dinamika yang elegan dari sebuah tim. Dinamika gerak dan irama dari setiap individu didalam satu kesatuan tim yang utuh, disertai perlawanan dari dinamika tim lawan, mampu menghadirkan keelokan permainan sepakbola. Bagaikan paduan gerak tari diatas pentas yang dinamis.

Keempat, strategi pelatih dan kejelian pemain untuk ditempatkan dan  menempatkan dirinya pada posisinya yang tepat di lapangan, sehingga menghasilkan komposisi serangan (maupun bertahan) yang harmonis, menggiring imajinasi penonton pada permainan yang indah dan memukau. Komposisi pemain diatur sedemikian rupa untuk membentuk tim yang  gesit dan produktif. Baik menyerang maupun bertahan. Komposisi pemain seperti 4-4-2 (diamond atau flat), 4-2-4 atau 4-3-3, adalah untuk membentuk konfigurasi yang ideal, tetapi tentunya disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan  pemain serta strategi pelatih. Tujuannya, mendapatkan kemenangan yang sempurna dari kelemahan pengaturan komposisi lawan. Sama halnya dengan menata komposisi not balok pada musik, gerak pada tari, dan bentuk atau proporsi pada sebuah kanvas yang akan menghasilkan keindahan seni (high art).

Kelima, warna dari sebuah permainan sepakbola bukan berarti warna yang diartikan secara umum sebagai alat pemberi nuansa berbeda pada suatu bidang atau gambar. Tapi lebih dari itu, sepakbola mempunyai warna unik dan menarik yang muncul dalam bentuk gaya (style) permainan. Gaya “kereta cepatnya” Ceko,  telah memukau jutaan penonton di dunia, tatkala menjungkalkan “total footbalnya” Belanda. Kecepatan permainan yang diperagakan pemain-pemain Ceko memberikan sebuah keindahan sepakbola yang progresif. Tak bisa dilupakan, gaya sambanya Brasil, buldozernya Jerman, cattenacionya Itali, telah menjadikan sepakbola sebagai sebuah hasil cipta karya seni.

Keenam, bukti bahwa puisi (syair) mengendap didalam jiwa dan semangat sepakbola bisa dilihat dari ungkapan Sindhunata yang menyitir komentar penulis bola, Ralf Itzel, bahwa Zinedine Zidane telah dianggap sebagai seorang penyair tanpa kata-kata. Melalui gerak dan aksinya di lapangan hijau, terutama dengan gol-gol spektakuler yang dijaringkannya, Zidane telah menyihir lawannya dengan gerakan kaki yang puitis dan melodius. Seluruh mata tercengang melihat estetisnya puitisasi sepakbola yang diperagakan melalui sundulan kepala, sontekan kaki,  tendangan geledek, tendangan pisang, tendangan voli, dan manuver-manuver lainya. Kini, Zidane, Beckham, Nedved, Figo, dan Rooney bukan hanya seorang pemain yang tangguh, tapi telah menjelma sebagai penyair di lapangan bola yang membius setiap pecintanya di seluruh dunia.

Penyair sepakbola merupakan roh bagi kesebelasannya, yang akan memberikan nilai magis rekan setimnya untuk menampilkan permainan yang sophisticated.   Keandalan  yang diperagakan seorang penyair sepakbola menciptakan nuansa seni yang indah dalam komposisi bingkai lapangan sepakbola yang begitu luas. Betapa tidak? Tatkala, serangan dibangun dari lini belakang, kemudian mengolah si kulit bundar melalui operan dari kaki ke kaki, dilanjutkan  memancing lawan keluar dari sarangnya, dan lalu, disusun serangan yang menusuk jantung pertahanan lawan, sehingga menciptakan peluang emas yang melahirkan sebuah gol. Semua itu menggambarkan prosesi ritual sepakbola yang begitu memikat dan merupakan episode dari drama sepakbola yang enak dilihat dan perlu.

Sungguhpun demikian, ada dua karakteristik utama yang membedakan seni dan sepakbola, pertama, Permainan sepakbola yang telah berlangsung tidak mungkin dibuat reproduksi apalagi diproduksi menjadi permainan identik, walaupun diulangi bertanding dengan tim, tempat, dan waktu yang sama. Bilapun permainan diulang bukan untuk mencari penampilan yang kongruen, tetapi lebih dipengaruhi oleh masalah yang menyangkut pertandingan tersebut seperti, terjadinya kericuhan antar dua kubu yang tidak bisa melanjutkan permainan selain ditunda pada tempat atau waktu yang berbeda — biasanya dengan menghindari kehadiran penonton atau suporternya. Bisa juga karena pengaruh cuaca, gempa bumi, atau karena force majeur lainnya.

Pengulangan momen sepakbola, hanya bisa dilakukan melalui tayangan ulang yang disiarkan oleh televisi atau media elektronik lainnya. Tetapi penayangan ini telah melunturkan ruh sepakbola, karena emosi, ketegangan, dan harapan setiap penonton sepakbola telah terdistorsi oleh ruang dan waktu. Sedangkan karya seni, serumit dan sekompleks apapun bisa diproduksi, minimal direproduksi untuk mendapatkan hasil yang sama.

Kedua, seniman melepaskan kepuasan dan ekspresinya hanya untuk dirinya sendiri, yang belum tentu bisa dinikmati oleh semua orang. Sedangkan pemain sepakbola, kenikmatan dan kepuasan mencapai puncak emosi dalam mencetak gol, dinikmati  pula oleh seluruh pemain termasuk pelatih, ofisial, dan penontonnya. Barthez begitu antusias dan menggebu menghentak-hentakkan tangannya seolah-olah dirinyalah yang menjebol gawang Inggris. Begitu pula pelatih seperti Sven Goran Erikson yang melampiaskan kegembirannya melebihi si pencetak gol itu sendiri. Tak terkecuali kita penonton televisi di rumah, begitu terbius seolah–olah gol tersebut tercipta dari kaki kita. Pada momen ini, pemain sepakbola telah menciptakan seni kolosalnya yang memikat.

Seni mencetak gol

Terciptanya sebuah gol, merupakan proses yang dibangun tanpa henti dari setiap pemain. Itulah kata-kata klise yang sering dikumandangkan oleh para pencetak gol.  Sebagaimana dikatakan Angelos Charisteas pencetak gol satu-satunya Yunani ke gawang Perancis, bahwa keberhasilannya tidak ada hubungannya dengan keberuntungan. Dan memang terciptanya gol bukanlah sebuah kebetulan belaka yang tanpa disengaja, tetapi buah usaha keras yang amat intens, dengan mengeluarkan intuisi, insting, strategi, tenaga dan pikiran sehat (common sense). Walaupun dalam kenyataannnya tidak sedikit proses tersebut diikuti oleh keberuntungan yang tanpa disengaja. Tangan “Tuhannya” Maradona, misalnya.

Seringkali kita saksikan seorang pemain yang telah berhasil menciptakan gol, begitu impresif mengeluarkan segala emosi kelegaannya, yang merupakan  kumpulan ekspresi dari hentakan jiwa yang membuncah. Berbagai bentuk ekspresi muncul: berteriak, berlari, jungkir-balik, mengepalkan tangan, menggoyang tangan (seperti sedang menggendong bayi), bergoyang ria ala pemain Kamerun, atau seperti Rooney yang mencabut tiang kuning dan melemparkannya, seraya berjalan tegap penuh kepuasan. Banyak ungkapan lain yang unik dan menarik dari karakter pemain yang telah mencetak gol ini. Apapun bentuk dan proses dari teciptanya gol tersebut, bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Gol hasil bunuh diri sekalipun.

Melepaskan kelegaan dan kepuasan setelah mencetak gol, ibarat seorang seniman yang menggoreskan kuasnya, melambungkan hasrat jiwanya kedalam kanvas yang tidak berdaya. Sehingga mencapai titik kulminasi pencapaian emosi, dan intuisinya.

Seni kolosal

Seni yang yang diciptakan di lapangan sepakbola bukan hanya dilakukan oleh individu pemain saja, tetapi menggema menjadi seni kolosal yang diperagakan oleh seluruh penonton  di stadion tempat dimana pertandingan berlangsung. Seni kolosal tersebut dinikmati pula oleh pemirsa televisi di seluruh  dunia.

Sepanjang permainan yel-yel, lagu dan musik tidak henti-hentinya bergaung dan diaransemen untuk menyihir semangat para pemain. Alat musik ditabuh bersahut-sahutan antar dua kubu yang berseberangan, menghadirkan seni musik spektakuler. Bayangkan, seni musik mana yang dilantunkan hampir terus-menerus selama 90 menit bahkan lebih tanpa jeda. Dengan berbagai jenis alat musik yang dibawa masing-masing suporter misalnya terompet, tambur, drum bahkan alat musik tradisionalpun dibawanya serta, tak ketinggalan benda-benda yang ada di sekitar tempat mereka duduk dijadikan alat musik yang menambah riuhnya musik sepakbola tersebut.

Selain menghadirkan musik,  juga diiringi tari-tarian yang menampilkan berbagai gerak. Tepukan tangan, hentakan kaki, dan gelombang yang dibentuk dari gerakan suporter yang amat menakjubkan. Gerak kolosal yang dilakukan paling sedikit 20.000 penonton tersebut, secara terus-menerus tanpa henti, diselingi puncak gerakan histeria menyambut terciptanya gol yang mampu menggetarkan stadion pertandingan.

Bila kita melihat musik dan gerak tari dari seluruh suporter yang dihiasi cat-cat aneka warna, pada wajah, rambut, dan tubuh mereka. Begitu pula poster, spanduk, umbul-umbul, dan beragam slogan yang melukiskan negara, bendera, dan lambang kesebelasan yang didukungnya. Semuanya menambah semarak kolosalisasi permainan sepakbola.

Seni kolosal sepakbola telah mengimbas seluruh dimensi kehidupan manusia, bukan hanya terbatas di tataran lapangan bola, tapi telah menggerus dimensi terdalam diri manusia. Seni personal seorang Beckham dengan gaya hidup kontemporernya, mengglobal membentuk pribadi kolosal. Cara berbusana, potongan rambut, tato, dan segala aksesories yang melekat pada tubuhnya telah menjadi ikon mode yang ditiru orang di seluruh dunia.

Adapun tingkah laku dan  sikap arogan suporter sepakbola Inggris yang destruktif sebagai akibat dari kekalahannya melawan Perancis dan Portugal belum lama ini, jangan sampai menjadi tindakan kolosal yang akan ditiru  suporter negara lainnya, karena segala tindakan yang merusak bukanlah bagian dari seni kolosal, melainkan hoologanisme yang akan mencederai semangat spotitivitas dan fairplay yang dewasa ini gencar digembar-gemborkan. Semoga.

Oleh Iwa Misbah, penggemar sepakbola.

Kategori:Uncategorized
  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar